Bandung, 19 Juni 2013
"Ayo nonton 'drem-molen'
di lapangan!" Ajakan
ibu saya kurang lebih tigapuluh tahun yang lalu itu masih tergiang di telinga saya tatkala saya
melintas di hiruk pikuk komidi putar di kampung dekat saya tinggal. Ya, komidi
putar yang “legendaris” itu masih tetap sama semaraknya sedari saya kecil hingga
saat sekarang saya yang sudah berkepala empat ini. Membaca artikel Komidi Keliling di NGI edisi April 2013,
melambungkan ingatan saya akan kenangan masa kecil saya di kampung pinggiran
kota. Tong Setan—begitu istilahnya saat itu, dan mungkin juga sampai sekarang—adalah
tontonan kegemaran saya. Suara knalpot motor yang meraung-raung memekak dan
merobek gendang telinga serta gerakan akrobatik penunggangnya melepas stang
kemudi dan menjumput uang saweran penonton di pucuk lintasan benar-benar
mempesona saya waktu itu. Kok bisa ya motor ngebut manjat di dinding tanpa
jatuh? Begitulah penasaran saya.
Saat ini, setiap selepas kerja
melintas jalanan beton di kampung saya di pinggiran ibukota, kemeriahan yang
sama masih terasa. Komidi keliling itu sudah sebulan lebih ada di sana. Terang
benderang dan warna-warni lampu wahananya, ramai dan riuh teriakan pengunjung
dan awak-awaknya, keras dan cempreng suara speaker salon penjaja CD bajakannya,
ribut anak–anak merengek kepada orangtuanya, serta kerasnya teriakan tukang
parkir motor mengumpat pengemudi angkot yang mengetem menghalangi pintu masuk
lahannya, benar-benar semakin membuat semarak malam itu. Muncul perasaan iba
dan gundah di hati saya. Di jaman yang serba digital ini, ternyata keberadaan
komidi putar keliling kampung ini masih dibutuhkan. Kehausan akan hiburan
terlihat jelas di binar mata pengunjungnya. Kebutuhan akan dapur yang terus
mengepul terlihat jelas dari semangat awak-awaknya naik-turun memutar
kuda-kudaannya. Kebutuhan bersosialisasi terlihat dari canda dan cekikikan
ABG-ABG belia ber-HP terkini di pojokan yang remang dan berlumpur begitu
kentara. Ada yang kehidupan yang menggeliat meretas penatnya kesibukan kota.
Ya, Komidi malam dengan segala
pernak-perniknya ternyata memang boleh dibilang legendaris. Saya masih
merasakan kemeriahan yang sama. Faktanya bagi masyarakat pinggiran kota seperti
saya, keberadaaannya masih terasa dibutuhkan. Kemurahan dan kemudahannya paling
tidak bisa menutupi sementara rasa kepingin menjajal permainan wahana modern,
mewah dan mahal yang hanya ada di ibu kota. Kesahajaannya tidak mengurangi
minat warga untuk bergembira. Entah sampai kapan, yang jelas dan saya rasakan
bukan hanya di kampung sekitar saya saja komidi keliling ini menggelar event-nya. Berkunjunglah ke desa-desa
atau pinggiran kota, meskipun tidak banyak, mereka terkadang ada meskipun hanya
sekedar kursi ayun-putar dan kincir besar wahananya.
Namun lamunan saya agaknya harus
segera berakhir ketika tiba rumah, dan mendapati anak-anak lagi asyik dengan
dunianya. “Tidak nonton komidi putar, Nak?” Sapa saya. “Ngapain?” Jawab mereka
singkat sambil mata dan tangannya tidak lepas dari gadget-nya. Ah, komidi putar,
akankah tahun depan masih ada di sana?
Tulisan ini dikirim untuk Forum NGI
Tulisan ini dikirim untuk Forum NGI